Kamis, 27 Maret 2008

Meneladani akhlak Rosulullah

Meneladani akhlak Rosulullah
Kamis (20/3) pekan depan yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal 1429 Hijriah, seluruh umat Islam kembali memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Sebuah momentum peringatan kelahiran manusia teragung yang pantas diteladani seluruh umat manusia.


Manusia pilihan Allah SWT yang ditakdirkan sebagai penutup para nabi ini, memiliki akhlak dan kepribadian yang mulia. Bahkan, menurut salah satu anggota Seksi Dakwah Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Salatiga, Drs Sakur MPd, para sahabat nabi yang melihat langsung bagaimana perilaku Rasulullah semasa hidupnya, seakan tak sanggup menceritakan bagaimana akhlak Rasulullah ketika ada orang Yahudi yang meminta mereka untuk menggambarkannya. Hanya linangan air mata yang menjadi jawabannya.
Dikisahkan, suatu hari setelah Rasulullah meninggal dunia, ada seorang Yahudi menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad!” Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh orang itu menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Ketika orang itu menemui Ali, sahabat nabi ini dengan linangan air mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!” Orang ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini.” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad SAW, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung.”
Akhirnya orang tersebut menemui Siti Aisyah RA. Isteri Nabi Muhammad SAW yang sering disapa khumairah oleh nabi ini hanya menjawab, “Khuluquhu al-Quran (Akhlaknya Muhammad itu Alquran).” Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu bagaikan Alquran berjalan.
Subhanallah, betapa indahnya kepribadian Rasulullah. Oleh karena itu, Allah SWT telah memerintahkan agar seorang muslim meneladani Rasulullah dalam setiap sisi kehidupan.
Kepribadian muslim
Namun dalam kenyataannya, tak sedikit umat Islam yang justru menjadi sorotan publik karena akhlak dan kepribadian mereka yang tidak mencerminkan kepribadian seorang muslim. Salah satunya yakni kasus suap yang sedang diperbincangkan banyak orang. Dengan tetap mengacu pada asas praduga tak bersalah, sebagian besar umat Islam agaknya prihatin dengan ulah mantan jaksa yang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Tri Urip Gunawan. Pasalnya, ia diduga terlibat kasus suap. Keprihatinan ini lahir karena jaksa tersebut juga beragama Islam.
Menanggapi kasus itu, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Tanwirul Fikr, Jebres, Solo, Ustad Abdul Hakim, berpendapat, jika perbuatan suap itu benar-benar dilakukan, kemungkinan ada dua faktor yang mempengaruhi sehingga hal itu terjadi. “Faktor yang paling utama yakni keimanan yang tidak kuat. Jika seorang muslim memiliki hubungan yang baik dengan Allah SWT, ia tidak akan melakukan perbuatan tercela. Hatinya selalu terpaut dengan Allah SWT sehingga ia pun dijaga oleh Allah SWT dari melakukan kesalahan,” jelasnya.
Faktor selanjutnya, kata Ustad Hakim, yakni lingkungan yang mendukungnya untuk melakukan kesalahan. Akibatnya, manusia lupa akan pengawasan Allah SWT. “Demikian halnya ketika amanah diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, hal ini juga menjadi peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.
Tak jauh beda, Ustad Sakur dari Salatiga juga mengungkapkan, selain faktor internal dari pelaku, faktor eksternal acapkali juga berperan untuk menjerumuskan seseorang.
“Mungkin secara pribadi pelaku kasus suap, korupsi dan tindakan tercela lainnya, sebenarnya adalah orang yang amanah. Tapi karena ia berada di lingkungan orang yang tidak amanah atau bahkan sistem yang menjadikan dia melakukan hal itu, lama kelamaan dia terpengaruh sehingga menjadi orang yang tidak amanah,” jelasnya.
Tak jarang, ujarnya, ada orang yang menggunakan amanah justru untuk kepentingan pribadi. “Hal ini juga bisa menjadi benih timbulnya penyelewengan amanah,” katanya.
Akhlak Mulia Cetak E-mail
Jumat, 07 Desember 2007

Muqoddimah

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menghendaki Islam menjadi ajaran yang kekal, penutup ajaran-ajaran sebelumnya. Ia diperuntukkan bagi seluruh manusia dengan bermacam perbedaan yang ada pada mereka, baik waktu, tempat, warna kulit dan kebangsaan. Allah menjadikan kekhususan dan keistimewaan yang banyak sekali di dalam Islam, sempurna lagi menakjubkan. Senantiasa dan benar-benar sesuai dengan kondisi di setiap zaman dan tempat. Semua ini berkat karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala yang membimbing hamba-hamba-Nya menuju kebahagiaan dunia dan akherat, kehidupan yang aman dan tentram lahir-batin, demi mencapai hakekat kemuliaan hidup yang sempurna.

Telah kita ketahui bersama bahwa Islam mengatur dan meliputi segala aspek kehidupan manusia. Tidaklah ada suatu kebaikan melainkan Islam telah menyeru dan menganjurkan kepada pemeluknya untuk berpegang dan berakhlak dengannya. Sebaliknya, tidaklah ada suatu keburukan melainkan Islam telah memperingatkan bahayanya dan memerintahkan untuk menjauhinya. Dengan demikian kehidupan manusia menjadi teratur di bawah naungan aturan Ilahi, mendapatkan hasil keberuntungan dan kejayaan dalam kehidupannya, sebaliknya apabila menjauhinya maka kerugian dan kebinasaanlah yang akan didapatkan.

Akhlak yang mulia merupakan asas yang dipegang dalam agama Islam dalam rangka membina umat dan memperbaiki masyarakat. Hal itu dikarenakan bersih dan kokohnya bangunan masyarakat, serta tinggi dan mulianya kedudukan anggotanya tergantung pada sejauh mana mereka berpegang kepada akhlak yang mulia, sebagaimana pula jatuh dan rusaknya suatu masyarakat manakala mereka meninggalkan akhlak yang mulia. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam telah mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari beliau dan menunjukkan kepada umatnya bagaimana berakhlak dengan akhlak yang terpuji. Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam merupakan suri-teladan bagi umatnya dalam segala aspek kehidupan. Bagaimana kemuliaan akhlak beliau sebagai seorang pemimpin, panglima perang, seorang bapak, suami, anak dan lainnya. Bukan suatu yang mustahil dan tidak mungkin seseorang mencontoh akhlak beliau.

Firman Allah,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosulullah itu suri teladan yang baik bagimu." (QS. Al-Ahzab: 21)

Hal ini digambarkan oleh salah seorang sahabat sekaligus pembantu beliau selama sepuluh tahun yaitu Anas bin Malik. Dari Anas bin Malik rodhiallahu 'anhu, katanya, "Aku pernah melayani Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam selama sepuluh tahun. Demi Allah, beliau sama sekali tidak pernah mengatakan kepadaku, 'His!' (Kalimat yang mengandung hardikan) tidak pula pernah mengatakan kepadaku (karena sesuatu yang aku lakukan), 'Kenapa kamu kerjakan seperti itu?! Bukankan seharusnya yang kamu kerjakan seperti ini!'" (HR. Bukhari, Kitab Wasiat no: 2561)

Diriwayatkan juga darinya bahwa dia berkata, "Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam adalah seorang yang paling baik, dermawan, dan pemberani. Pernah pada suatu malam penduduk Madinah dikejutkan oleh suara yang sangat keras. Orang-orang kemudian mendatangi arah suara tersebut. (tetapi di perjalanan) mereka berjumpa dengan Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam yang baru saja pulang dari sumber suara tersebut. Ternyata beliau telah mendahului mereka mendatangi sumber suara tersebut. Pada waktu itu beliau menunggang kuda milik Abu Thalhah tanpa pelana. Di leher kuda itu terlihat sebilah pedang. Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam berkata, 'Kalian tidak perlu takut, Kalian tidak perlu takut.' Anas berkata, 'Kami melihat Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam secepat kilat, padahal kuda itu jalannya lambat.'" (HR. Bukhari, Kitabul-Hibbah: 2434)

Keutamaan Akhlak Mulia

1. Akhlak yang mulia merupakan bagian dari takwa. Tidak sempurna takwa seseorang kecuali dengannya. Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran: 133-134)

Di dalam ayat ini Allah 'Azza wa Jalla menerangkan bahwa berakhlak baik dalam pergaulan dengan sesama manusia termasuk dari sifat-sifat orang yang bertakwa.

2. Akhlak yang baik termasuk bagian dari keimanan, sebagaimana Sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam,

أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا

"Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah, yang paling baik akhlaknya." (Hadist Shahih, lihat kitab Jami' Shahih: 1231, karya Albani)

Di sini dijelaskan bahwa seseorang yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.

3. Akhlak yang baik, dapat mengantarkan seseorang pada kedudukan orang-orang yang taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam,

إن المؤمن ليدرك بحسن خلقه درجات الصائم القائم.

"Sesungguhnya dengan akhlaknya yang baik seorang yang beriman mampu mencapai kedudukan orang yang selalu berpuasa dan shalat malam." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Maajah, dan dishahihkan Albani no: 1928)

4. Akhlak yang mulia memberatkan timbangan bagi pemiliknya pada hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam,

ما من شيء يوضع في الميزان أثقل من حسن الخلق.

"Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat diletakkan pada timbangan (hari Kiamat) daripada akhlak yang baik." (Lihat kitab Shahih Al-Jami': 5602, karya Albani)

5. Yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga adalah akhlak mulia, sebagaimana sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam,

أن رسول الله سئل عن أكثر ما يدخل الناس الجنة ؟ فقال : تقوى الله و حسن الخلق.

"Bahwasanya Rosulullah ditanya, 'Apakah yang paling banyak memasukkan manusia kedalam surga?' Beliau menjawab, 'Takwa kepada Allah dan Akhlak yang baik.'" (Kitab Riyadus Shalihin hal: 273)

6. Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik akhlaknya. Ini sebagaimana Hadits Abdullah bin Amr rodhiallahu 'anhu, katanya, "Ketika Muawiyah berkunjung ke Kufah, maka Abdullah bin Amr bercerita tentang Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam katanya, 'Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam tidak pernah melampaui batas dan tidak pernah berbuat perkara keji. Abdullah bin Amr rodhiallahu 'anhu juga berkata, Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda,

إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا

"Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang paling baik budi pekertinya." (HR. Bukhari, Kitab Akhlak Terpuji no: 3295)

Ta'rif/Definisi Akhlak

Makna akhlak secara bahasa sebagaimana dijelaskan oleh Ahli ilmu adalah: gambaran yang tersembunyi dari seorang insan.

Manusia mempunyai dua gambaran:

1. Gambaran yang dhahir/lahiriah yaitu bentuk rupa dan jasad yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta'ala pada insan. Ini ada yang baik dan ada pula yang buruk, ada yang indah, ada yang jelek atau diantara keduanya sebagaimana yang telah diketahui.

2. Gambaran yang batin/tersembunyi, dan inilah yang dikatakan dengan akhlak. Ini pun ada yang baik dan ada juga yang buruk atau diantara keduanya. Maka akhlak adalah: gambaran yang tersembunyi pada seorang insan yamg merupakan tabiat pada dirinya. Akhlak mulia ada yang merupakan tabiat secara fitriyah, dengan makna bahwa seorang insan memang dari asalnya memiliki akhlak yang mulia, tidak dibuat-buat. Karena ada juga akhlak yang memang diusahakan untuk menjadi sifat seseorang. Oleh sebab itu Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam berkata kepada Assyaj bin Qais,

إن فيك لخلقين يحبهما الله: الحلم و الأناة قال : يا رسول الله أهما خلقان تخلقت بهما أم جبلني الله عليهما قال : بل جبلك الله عليهما.

"Padamu ada dua akhlak yang Allah mencintai keduanya: lembut dan sabar." Dia berkata, "Wahai Rosulullah, apakah keduanya aku membuat-buatnya atau Allah yang mendatangkannya padaku?" Maka Nabi shollallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Allah-lah yang mendatangkannya padamu." (HR. Muslim, Kitab Iman)

Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa akhlak mulia ada yang merupakan pembawaan pada diri seseorang, atau bisa juga sesuatu yang diusahakan. Tetapi pembawaan lebih utama, karena akhlak ini tidak akan terlepas dari sifatnya dan tidak membutuhkan latihan dan usaha untuk mendapatkannya. Yang demikian itu adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi hambanya, tetapi tidak menghalangi bagi seseorang untuk berakhlak yang mulia dengan cara melatih diri dan berusaha untuk mendapatkan hal tersebut.

Macam-macam Akhlak

Banyak orang mengira bahwa akhlak yang baik hanya dalam hubungan manusia dengan sesama makhluk, tidak ada hubungannya dengan Al-Khaaliq (Sang pencipta), Allah Subhanahu wa Ta'ala. pemahaman ini pemahaman yang terbatas, karena akhlak yang baik berkaitan dengan makhluk juga berkaitan dengan Al-Khaaliq Subhanahu wa Ta'ala.

Di antara akhlaq kepada Allah:

1. Membenarkan kabar-berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ini artinya tidak boleh ada keraguan pada diri seseorang dalam membenarkan kabar yang datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena berita dari Allah Subhanahu wa Ta'ala didasarkan atas ilmu dan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah yang paling benar ucapannya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا

"Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah." (QS. An-Nisa': 87)

2. Melaksanakan dan menerapkan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Maknanya adalah tidak menolak sesuatupun dari hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Barang siapa yang menolak hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala maka itu merupakan akhlak yang buruk kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik mengingkari, merendahkan hukum-hukumnya atau menyepelekan pengamalannya. Sikap-sikap tersebut bertentangan dengan akhlak yang mulia dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

3. Menerima takdir-Nya 'Azza wa Jalla dengan sabar dan ridha.

Yaitu menerima takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menimpa kita dengan ridha dan sabar serta menyadari bahwa dibalik ketetapan itu terkandung hikmah dan merupakan kehendak-Nya, maka wajib bagi kita untuk menerima dan bersyukur atasnya. Sebagaimana firman Allah,

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

"Katakanlah, 'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal.'" (QS. At-Taubah: 51)

Berakhlak yang Mulia Dengan Sesama

Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Hasan Al-Bashry:

1. Mencegah diri untuk tidak mengganggu saudaranya, baik itu berkaitan dengan harta, jiwa ataupun kehormatan.

Barang siapa yang mengganggu saudaranya dengan gangguan apapun tidak dikatakan sebagai orang yang ber-akhlak mulia.

Diriwayatkan daripada Abdullah bin Amru bin al-Ash rodhiallahu 'anhu katanya: Seseorang bertanya kepada Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam, tentang sifat orang Islam yang paling baik. Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

"Seseorang yang orang-orang Islam yang lain selamat dari kejahatan lidah dan tangannya." (HR. Muslim, Kitabul Iman: 57)

2. Bersikap baik dan pemurah.

Ini tidak hanya berkaitan dengan harta saja tetapi bisa juga dengan kedudukan, jiwa ataupun segala sesuatu yang bermanfaat bagi saudaranya. Karenanya janganlah bakhil (kikir) untuk menolong saudaranya. Diriwayatkan daripada Abu Hurairah bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam telah bersabda,

كُلُّ سُلَامَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ قَالَ تَعْدِلُ بَيْنَ الِاثْنَيْنِ صَدَقَةٌ وَتُعِينُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ قَالَ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ وَكُلُّ خُطْوَةٍ تَمْشِيهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ وَتُمِيطُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ

"Pada setiap hari setiap sendi manusia harus ditunaikan sedekahnya ketika matahari terbit. Seterusnya baginda bersabda, 'Berlaku adil di antara dua orang manusia adalah sedekah, membantu seseorang naik ke atas binatang tunggangannya atau mengangkatkan barang-barangnya ke atas belakang binatang tunggangannya juga adalah sedekah.' Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda lagi, 'Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah menuju shalat adalah sedekah dan membuang sesuatu yang berbahaya di jalan adalah sedekah.'" (HR. Bukhari, Kitab Perdamaian: 2508)

Jika ada yang berbuat buruk kepadamu atau menzhalimimu maka maafkanlah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

"Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran: 133 � 134)

Semua yang disebutkan adalah termasuk dari akhlak yang mulia.

3. Berwajah cerah, sebagaimana sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam,

لا تحقرن من المعروف شيأ ولو أن تلقى أخاك بوجه طلق.

"Janganlah meremehkan perbuatan yang baik sekecil apapun, walau hanya bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-seri." (HR. Muslim, Kitabul Birr)

Wajah berseri-seri (cerah) mendatangkan kebahagian terhadap orang yang bertemu dengan kita, menimbulkan rasa kasih-sayang sesama saudara, dan melapangkan dada. Berbeda dengan orang yang selalu cemberut wajahnya, orang-orang akan meninggalkannya karena tidak merasa nyaman duduk bersamanaya.

Tiga perkara di atas berkaitan dengan akhlak mulia di antara sesama hamba.

Kiat memiliki akhlak yang mulia

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa akhlak yang baik bisa merupakan pembawaan, juga bisa sesuatu yang diusahakan, yaitu seseorang melatih dirinya untuk berakhlak yang mulia.

Bagaimana kiat untuk mendapatkannya, berikut penjelasannya:

1. Mengkaji Al-Qur'an dan As-Sunnah, melihat dalil-dalil yang menunjukkan akhlak mulia. Maka seorang yang beriman jika melihat dalil-dalil yang memuji akhlak yang mulia akan tergerak untuk mengerjakannya.

2. Mengikuti Nabi, karena beliaulah yang paling utama dalam merealisasikan akhlak yang mulia ini, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam: 4)

Dan beliau adalah contoh yang utama dalam perkara ini, sebagaimana firman Allah,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosulullah itu suri teladan yang baik bagimu." (QS. Al-Ahzab: 21)

Maka wajib bagi seorang muslim untuk mempelajari biografi beliau shollallahu 'alaihi wasallam dalam segala aspek kehidupannya, bagaimana berakhlak dengan Rabb-Nya Subhanahu wa Ta'ala, dengan sahabatnya, dengan keluarganya dan dengan sesama manusia, yang lain.

3. Bergaul dengan orang-orang Shalih yang bisa dipercaya agama dan ilmunya.

Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan daripada Abu Musa rodhiallahu 'anhu katanya Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

"Sesungguhnya perumpamaan berkawan dengan orang yang sholeh dan berkawan dengan orang yang jahat adalah seperti perumpamaan (berteman dengan) penjual minyak wangi dan tukang besi. (berkawan dengan) penjual minyak wangi, mungkin ia akan memberi minyaknya kepadamu atau mungkin kamu akan membeli darinya atau akan mendapat bau harumnya. (Berbeda manakala berteman dengan) tukang besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu atau kamu akan mendapat bau yang tidak enak." (HR. Bukhari, Kitab Jual Beli: 1959)

Maka wajib bagi kita untuk berteman dengan orang yang berakhlak mulia, jauh dari akhlak yang buruk, sehingga mampu menolong kita untuk memperbaiki akhlak kita.

4. Merenungkan akibat yang ditimbulkan dari akhlak yang buruk.

Akhlak yang buruk, tercela, akan menjadikan orang lain menjauhinya dan disebut dengan sebutan yang buruk. Maka jika seseorang menyadari akibat buruk ini semua, tentu dia akan menjauhinya.

Inilah beberapa perkara yang berkaitan dengan akhlak yang mulia. Jika kita lihat keadaan kaum muslimin sekarang ini, sudah semakin jauh dari ajaran-ajaran Islam, terutama dalam praktek kehidupan mereka sehari-hari, dalam ibadah demikian pula akhlak. Karenanya, sudah waktunya bagi kita untuk kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang lurus ini, kita lihat bagaimana generasi terdahulu mendapatkan kejayaan dan kesuksesan, tidak lain karena kuatnya mereka dalam memegang agamanya, menerapkan Al-Qur'an dan Sunnah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaf Ummah (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), lahir maupun batin. Semoga Allah Mewafatkan kita di atas Islam dan Sunnah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga kita di dunia dan akherat. Tidak menyimpangkan hati-hati kita setelah melimpahkan hidayat-Nya kepada kita. Membersihkan hati-hati kita dari segala maksiat dan penyakit hati yang merusak kemurniannya, sesunggungnya Allah Maha berkuasa atas segala-galanya.

Referensi:

  1. Qawaid wa Fawaid min Al-Arbain An-Nawawiyah, karya Nazhim Mohammad Sulthan; cet. Ke-2. 1410; Dar-Al Hijrah, Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia.
  2. Makarimul Akhlaq, karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah; cet. Ke-1. 1313; Dar- Al Khair, Beirut, Lebanon.
  3. Kitabul Ilmi, Muhammad ibn Shaalih ibn Al-Utsaimin; Dar-At Tsurayya.

Muhammad dan perlakuan Yahudi usil
Hampir setiap kali Rosul ke pasar, sapaan kasar, hinaan, dan lemparan kotoran mendarat di telinga dan wajah serta badannya. Namun karena mental seorang utusan Tuhan, maka sikap sabar dan senyum selalu menghiasai wajahnya.

Anehnya, justru sikap anaknya Fatimah az Zahra, para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar sangat prihatin dan emosional atas perlakuan Yahudi terhadap Rosulullah. Bahkan malaikat Izrail yang ditakdirkan tanpa emosipun ikut panas melihat perlakuan pemuda bergelar Al Amin tersebut.

"Engkau kan Rosulullah, mengapa tidak marah dan membalas lemparan kotoran dan makian Yahudi itu?" demikian celoteh Fatimah as. Apa jawab Rosul: "Innahum ma laa ya'lamuun" (Sesungguhnya mereka tak tahu apa yang mereka kerjakan).

Sikap serupa disampaikan Abu Bakar Shiddiq, "Wahai Rosul, kalau Engkau berkenan, aku akan membalas sikap kasar mereka kepada Engkau." Jawab Rosul pun sama: "Innahum ma laa ya'lamuun".

Tak ketinggalan Umar bin Khattab yang mantan preman pasar Ukaz lebih tegas menyatakan: "Wahai Rosulullah, jika Engkau mengizinkan akan aku tebas batang leher yahudi brengsek yang sering melempari kotoran terhadap-Mu!" Rosul pun konsisten dengan jawabannya: "Innahum ma laa ya'lamuun".

Pernah suatu ketika Rosulullah SAW membersihkan kotoran bekas lemparan si Yahudi usil di bawah pohon dekat sebuah bukit, datang malaikat Izrail dengan wajah sedih bercampur geram. "Wahai Rosul, aku tak tega melihat perlakuan mereka terhadap Engkau. Jikalau Engkau berkenan akan aku balikkan bukit ini dan aku tumpahkan di atas kediaman mereka. Atau aku akan cabut nyawa mereka dengan cara yang paling menyakitkan," demikian pinta Izrail.

Tapi, itulah dia Muhammad SAW. Dengan kecerdasan emosional yang optimum tetap mengatakan "Innahum ma lla ya'lamuun".

Suatu hari Rosul kembali melewati gang yang sama menuju pasar Ukaz. Tapi hari itu Rosul tidak mendapati lemparan kotoran dan makian si yahudi yang sengit itu. Lalu Rosul bertanya kepada para tetangga Yahudi itu," Kemana saudaraku yang rajin menegurkan (baca: melempar kotoran) kala aku lewat di gang ini?"

Tetangga itu berkata: "Dia sedang sakit di ruang atas, badannya panas dan menggigil, dia seperti hendak berpulang karena sakitnya parah!" Lantas Rosul pun beranjak ke atas menemui Yahudi usil tersebut, ketika dihampiri Rosul si Yahudiketakutan bukan main dan dengan tubuh gemetar dan keringat menjagung dia memohon: "Jangan, jangan kau sakiti aku, aku minta maaf atas keburukan perilakuku. Tapi bila Engkau hendak membalas dendam, aku akan pasrah menerimanya."

Rosul pun tersenyum dan mendekati si Yahudi sambil mengambil segelas air zam-zam, lalu air itu dibacakan doa untuk si Yahudi. "Minumlah ini air, Insya Allah kamu akan sembuh," ujar Rosulullah.

Kontan saja, setelah air diminum tubuh si Yahudi tampak lebih bugar dan sehat. "Kalau boleh aku minta maaf sekali lagi, tapi siapakah Anda hai Bapak?" Rosul pun menjawab: "Sayalah Muhammad, Rosul Allah yang ditugaskan untuk memperbaiki akhlaq!" Sejak saat itu si Yahudi bertobat dan memeluk agama yang diajarkan Rosulullah. "Subhanallah, begituagung akhlaq-Mu Ya Rosul," ujar Abu Bakar.



Rabu, 26 Maret 2008

Maulid dan Manajemen Bisnis Rasulullah

Maulid dan Manajemen Bisnis Rasulullah Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Oleh: Agustianto

Kelahiran Nabi Muhammad merupakan peristiwa yang tiada bandingnya ‎dalam sejarah umat manusia, karena kehadirannya telah membuka zaman baru dalam ‎pembangunan peradaban dunia bahkan alam semesta (rahmatul-lil’alamin 21:107) ‎Beliau adalah utusan Allah SWT yang terakhir sebagai pembawa kebaikan dan ‎kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Michael Hart dalam bukunya, ‎menempatkan beliau sebagai orang nomor satu dalam daftar seratus orang yang ‎memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah. Kata Hart, “Muhammad Saw ‎terpilih untuk menempati posisi pertama dalam urutan seratus tokoh dunia yang paling ‎berpengaruh, karena beliau merupakan satu-satunya manusia yang memiliki ‎kesuksesan yang paling hebat di dalam kedua bidang-bidang sekaligus : agama dan ‎bidang duniawi”.‎


Kesuksesan Nabi Muhammad Saw telah banyak dibahas para ahli sejarah, baik ‎sejarawan Islam maupun sejarawan Barat. Salah satu sisi kesuksesan Nabi ‎Muhammad adalah kiprahnya sebagai seorang padagang (wirausahawan). Namun, sisi ‎kehidupan Nabi Muhammad sebagai pedagang dan pengusaha kurang mendapat ‎perhatian dari kalangan ulama pada momentum peringatan maulid Nabi. Karena itu, ‎dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw ini, kita ‎perlu merekonstruksi sisi tijarah Nabi Muhammad Saw, khususnya manajemen bisnis ‎yang beliau terapkan sehingga mencapai sukses spektakuler di zamannya.‎

Aktivitas Bisnis Muhammad

Reputasi Nabi Muhammad dalam dunia bisnis dilaporkan antara lain oleh ‎Muhaddits Abdul Razzaq. Ketika mencapai usia dewasa beliau memilih perkerjaan ‎sebagai pedagang/wirausaha. Pada saat belum memiliki modal, beliau menjadi ‎manajer perdagangan para investor (shohibul mal) berdasarkan bagi hasil. Seorang ‎investor besar Makkah, Khadijah, mengangkatnya sebagai manajer ke pusat ‎perdagangan Habshah di Yaman. Kecakapannya sebagai wirausaha telah ‎mendatangkan keuntungan besar baginya dan investornya.Tidak satu pun jenis bisnis ‎yang ia tangani mendapat kerugian. Ia juga empat kali memimpin ekspedisi ‎perdagangan untuk Khadijah ke Syiria, Jorash, dan Bahrain di sebelah timur ‎Semenanjung Arab.‎

Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa di sekitar masa mudanya, Nabi ‎Saw banyak dilukiskan sebagai Al-Amin atau Ash-Shiddiq dan bahkan pernah ‎mengikuti pamannya berdagang ke Syiria pada usia anak-anak, 12 tahun. ‎

Lebih dari dua puluh tahun Nabi Muhammad Saw berkiprah di bidang ‎wirausaha (perdagangan), sehingga beliau dikenal di Yaman, Syiria, Basrah, Iraq, ‎Yordania, dan kota-kota perdagangan di Jazirah Arab. Namun demikian, uraian ‎mendalam tentang pengalaman dan keterampilan dagangnya kurang memperoleh ‎pengamatan selama ini.‎

Sejak sebelum menjadi mudharib (fund manager) dari harta Khadijah, ia ‎kerap melakukan lawatan bisnis, seperti ke kota Busrah di Syiria dan Yaman. Dalam ‎Sirah Halabiyah dikisahkan, ia sempat melakukan empat lawatan dagang untuk ‎Khadijah, dua ke Habsyah dan dua lagi ke Jorasy, serta ke Yaman bersama Maisarah. ‎Ia juga melakukan beberapa perlawatan ke Bahrain dan Abisinia. Perjalanan dagang ‎ke Syiria adalah perjalanan atas nama Khadijah yang kelima, di samping ‎perjalanannya sendiri- yang keenam-termasuk perjalanan yang dilakukan bersama ‎pamannya ketika Nabi berusia 12 tahun.‎

Di pertengahan usia 30-an, ia banyak terlibat dalam bidang perdagangan ‎seperti kebanyakan pedagang-pedagang lainnya. Tiga dari perjalanan dagang Nabi ‎setelah menikah, telah dicatat dalam sejarah: pertama, perjalanan dagang ke Yaman, ‎kedua, ke Najd, dan ketiga ke Najran. Diceritakan juga bahwa di samping perjalanan-‎perjalanan tersebut, Nabi terlibat dalam urusan dagang yang besar, selama musim-‎musim haji, di festival dagang Ukaz dan Dzul Majaz. Sedangkan musim lain, Nabi ‎sibuk mengurus perdagangan grosir pasar-pasar kota Makkah. Dalam menjalankan ‎bisnisnya Nabi Muhammad jelas menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang jitu ‎dan handal sehingga bisnisnya tetap untung dan tidak pernah merugi.‎

Implementasi manajemen bisnis

Jauh sebelum Frederick W. Taylor (1856-1915) dan Henry Fayol mengangkat ‎prinsip manajemen sebagai suatu disiplin ilmu, Nabi Muhammad Saw. sudah ‎mengimplementasikan nilai-nilai manajemen dalam kehidupan dan praktek bisnisnya. ‎Ia telah dengan sangat baik mengelola proses, transaksi, dan hubungan bisnis dengan ‎seluruh elemen bisnis serta pihak yang terlihat di dalamnya. Bagaimana gambaran ‎beliau mengelola bisnisnya, Prof. Afzalul Rahman dalam buku Muhammad A Trader, ‎mengungkapkan: ‎

‎“Muhammad did his dealing honestly and fairly and never gave his customers ‎to complain. He always kept his promise and delivered on time the goods of quality ‎mutually agreed between the parties. He always showed a gread sense of ‎responsibility and integrity in dealing with other people”. Bahkan dia mengatakan: ‎‎“His reputation as an honest and truthful trader was well established while he was ‎still in his early youth”.‎

Berdasarkan tulisan Afzalurrahman di atas, dapat diketahui bahwa Nabi ‎Muhammad adalah seorang pedagang yang jujur dan adil dalam membuat perjanjian ‎bisnis. Ia tidak pernah membuat para pelanggannya komplen. Dia sering menjaga ‎janjinya dan menyerahkan barang-barang yang di pesan dengan tepat waktu. Dia ‎senantiasa menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar dan integritas yang tinggi ‎dengan siapapun. Reputasinya sebagai seorang pedagang yang jujur dan benar telah ‎dikenal luas sejak beliau berusia muda.‎

Dasar-dasar etika dan menejemen bisnis tersebut, telah mendapat legitimasi ‎keagamaan setelah beliau diangkat menjadi Nabi. Prinsip-prinsip etika bisnis yang ‎diwariskan semakin mendapat pembenaran akademis di penghujung abad ke-20 atau ‎awal abad ke-21. Prinsip bisnis modern, seperti tujuan pelanggan dan kepuasan ‎konsumen (costumer satisfaction), pelayanan yang unggul (service exellence), ‎kompetensi, efisiensi, transparansi, persaingan yang sehat dan kompetitif, semuanya ‎telah menjadi gambaran pribadi, dan etika bisnis Muhammad Saw ketika ia masih ‎muda.‎

Pada zamannya, ia menjadi pelopor perdagangan berdasarkan prinsip ‎kejujuran, transaksi bisnis yang fair, dan sehat. Ia tak segan-segan ‎mensosialisasikannya dalam bentuk edukasi langsung dan statemen yang tegas kepada ‎para pedagang. Pada saat beliau menjadi kepala negara, law enforcement benar-benar ‎ditegakkan kepada para pelaku bisnis nakal. Beliau pula yang memperkenalkan asas ‎‎“Facta Sur Servanda” yang kita kenal sebagai asas utama dalam hukum perdata dan ‎perjanjian. Di tangan para pihaklah terdapat kekuasaan tertinggi untuk melakukan ‎transaksi, yang dibangun atas dasar saling setuju “Sesungguhnya transaksi jual-beli ‎itu (wajib) didasarkan atas saling setuju (ridla)….” Terhadap tindakan penimbunan ‎barang, beliau dengan tegas menyatakan: “Tidaklah orang yang menimbun barang ‎‎(ihtikar) itu, kecuali pasti pembuat kesalahan (dosa)!!!”‎

Sebagai debitor, Nabi Muhammad tidak pernah menunjukkan wanprestasi ‎‎(default) kepada krediturnya. Ia kerap membayar sebelum jatuh tempo seperti yang ‎ditunjukkannya atas pinjaman 40 dirham dari Abdullah Ibn Abi Rabi’. Bahkan kerap ‎pengembalian yang diberikan lebih besar nilainya dari pokok pinjaman, sebagai ‎penghargaan kepada kreditur. Suatu saat ia pernah meminjam seekor unta yang masih ‎muda, kemudian menyuruh Abu Rafi’ mengembalikannnya dengan seekor unta bagus ‎yang umurnya tujuh tahun. “Berikan padanya unta tersebut, sebab orang yang paling ‎utama adalah orang yang menebus utangnya dengan cara yang paling baik” ‎‎(HR.Muslim).‎

Sebagaimana disebut diawal, bahwa penduduk Makkah sendiri memanggilnya ‎dengan sebutan Al-Shiddiq (jujur) dan Al-Amin (terpercaya). Sebutan Al-Amin ini ‎diberikan kepada beliau dalam kapasitasnya sebagai pedagang. Tidak heran jika ‎Khadijah pun menganggapnya sebagai mitra yang dapat dipercaya dan ‎menguntungkan, sehingga ia mengutusnya dalam beberapa perjalanan dagang ke ‎berbagai pasar di Utara dan Selatan dengan modalnya. Ini dilakukan kadang-kadang ‎dengan kontrak biaya (upah), modal perdagangan, dan kontrak bagi hasil.‎

Dalam dunia manajemen, kata benar digunakan oleh Peter Drucker untuk ‎merumuskan makna efisiensi dan efektivitas. Efisiensi berarti melakukan sesuatu ‎secara benar (do thing right), sedangkan efektivitas adalah melakukan sesuatu yang ‎benar (do the right thing).‎

Efisiensi ditekankan pada penghematan dalam penggunaan input untuk ‎menghasilkan suatu output tertentu. Upaya ini diwujudkan melalui penerapan konsep ‎dan teori manajemen yang tepat. Sedangkan efektivitas ditekankan pada tingkat ‎pencapaian atas tujuan yang diwujudkan melalui penerapan leadership dan pemilihan ‎strategi yang tepat. ‎

Prinsip efisiensi dan efektivitas ini digunakan untuk mengukur tingkat ‎keberhasilan suatu bisnis. Prinsip ini mendorong para akademisi dan praktisi untuk ‎mencari berbagai cara, teknik dan metoda yang dapat mewujudkan tingkat efisiensi ‎dan efektivitas yang setinggi-tingginya. Semakin efisien dan efektif suatu perusahaan, ‎maka semakin kompetitif perusahaan tersebut. Dengan kata lain, agar sukses dalam ‎menjalankan binis maka sifat shiddiq dapat dijadikan sebagai modal dasar untk ‎menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas. ‎

Demikian sekelumit sisi kehidupan Nabi Muhammad dalam dunia bisnis yang sarat ‎dengan nilia-nilai manajemen, Semoga para pebisnis modern, dapat meneladaninya ‎sehingga mereka bisa sukses dengan pancaran akhlak terpuji dalam bisnis .


(Penulis ‎adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Dosen Pascasarjana ‎Ekonomi dan Keuangan Syariah UI dan Pascasarjana Islamic Economics and ‎Finance Universitas Trisakti dan Pascasarjana Bisnis dan Keuangan Islam ‎Universitas PARAMADINA dan Universitas Islam Negeri Jakarta).

Detik-Detik Maulid Nabi Saw Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Oleh: Dewan Asatidz
Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah swt telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi pentingâ€? kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad saw hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain. Diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab r.a., beliau berkata : saya bersama Rasulullah s.a.w sedang duduk-duduk. Rasul s.a.w. bertanya kepada para sahabat, "Katakan kepadaku, siapakah yang paling besar imannya?" Para sahabat menjawab; 'Para malaikat, wahai Rasul'. Nabi s.a.w bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab, “Para Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah s.w.t, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab lagi, “Para syuhada yang ikut bersyahid bersama para Nabi, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”.

Lalu siapa, wahai Rasul?”, tanya para sahabat.

Lalu Nabi s.a.w. bersabda, “Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman”. [Musnad Abî Ya’lâ, hadits nomor 160].

Waktu yang ditunggu-tunggu itu belum datang juga, namun beberapa orang masih terus mencari. Mereka menelusuri ujung-ujung kota Mekkah. Dari satu tempat ke tempat lain, orang-orang yang merindukan kehadiran seorang pembebas itu tak lupa bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di setiap tempat. Mereka bertanya begini kepada setiap orang, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Namun tak seorang pun mengiyakan pertanyaannya. Orang awam tentu tidak memahami maksud pertanyaan itu, namun orang-orang itu tidak juga berhenti untuk mencari dan menanyakan dimana gerangan bayi laki-laki yang dilahirkan. Semuanya ini dilakukan untuk membuktikan kepercayaan yang selama ini diyakininya. Bahwa dunia yang telah rusak sedang menanti kedatangannya.

Hingga pada suatu pagi.

Sebagaimana aktifitas yang telah diberlakukan semenjak zaman nabi Ibrahim a.s, setiap bayi yang lahir pada saat itu segera di-thawaf-kan. Ini tidak lain untuk mendapatkan hidup yang penuh barokah, yakni bertambahnya kebaikan lahir dan batin, serta mengharapkan kemuliaan dan petunjuk dari Allah s.w.t. Tidak terkecuali bagi seorang sayyid Abdul Muththalib, yang terkenal masih bersih dalam urusan teologi. Begitu mengetahui cucu laki-lakinya lahir, maka segeralah beliau membawa bayi itu menuju Ka’bah, lalu Thawaf, membawa bayi itu mengelilingi Ka’bah tujuh kali sambil berdoa kepada Allah s.w.t.

***

Tepat sesaat setelah sayyid Muththalib memasuki rumah setelah men-thawaf-kan cucunya, lewatlah seseorang yang selama beberapa hari ini mencari kelahiran seorang bayi laki-laki. Saat itu, orang yang sudah cukup tua tersebut masih menanyai kepada setiap orang yang dia temui, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Pada saat itulah sayyid Muththalib menyadari ada seorang tua yang mencari bayi laki-laki.

Dipanggilnya orang tua itu, lalu beliau berkata kepadanya, “Saya punya bayi laki-laki, tapi, tolong katakan, apa kepentingan anda mencari bayi laki-laki?”.

Saya ingin melihat bayi laki-laki yang baru lahir. Itu saja”, jawab orang tua tersebut yang sekonyong-konyong muncul semangat baru dalam dirinya. Tanpa memberikan kesulitan apapun, sayyid Muththalib mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumahnya untuk melihat bayi yang dimaksud.

Apa yang terjadi saat orang tua itu melihat bayi yang ditanyakannya, adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh sayyid Muththalib. Sang sayyid memang tidak pernah berpikir apa pun. Sebagai layaknya seorang kakek yang berbahagia mempunyai cucu, beliau cukup bersyukur sang cucu dilahirkan dalam keadaan sehat wal afiat. Namun, bagi orang tua yang sedang mencari sesuatu itu tidak demikian. Begitu melihat bayi dan menemukan ciri-ciri sebagaimana disebutkan dalam kitab yang dia baca, serta informasi dari orang-orang terdahulu, orang tua itu berseru, “Benar, benar sekali ciri-cirinya, inilah bayi yang akan menjadi Nabi akhir zaman kelak…”. Dalam kebengongan sayyid Muththalib, pingsanlah orang tua yang selama ini mencari-cari bayi laki-laki tersebut, lalu wafat pada saat itu juga.

***

Orang-orang yang mencari bayi laki-laki saat itu, termasuk seorang tua yang akhirnya mendapatkannya dan pingsan, adalah para agamawan yang meyakini akan kehadiran seorang Nabi akhir zaman. Mereka sangat teguh memegang berita akan kemunculan nabi akhir zaman ini. Semakin kuat keyakinan mereka, semakin mereka meninggalkan urusan-urusan dunianya guna menanti atau mencari nabi akhir zaman itu. Penantian nabi akhir zaman itu, selain berkat informasi dari kitab-kitab mereka, saat itu, mereka juga sangat merasakan bahwa keadaan membutuhkan kehadiran sang Nabi.

Sedang sang bayi yang ditunggu adalah bayi Muhammad Shalla-llâhu ‘alayhi wa sallama, bayi yang kelak menjadi nabi terakhir.

Demikianlah, akhir dari kisah pencarian pendeta-pendeta serta segenap agamawan pada zaman pra Nabi Muhammad s.a.w. Pencarian atas apa yang diisyaratkan dalam kitab-kitab mereka, bahwa akan diutusnya nabi akhir zaman untuk meluruskan kembali aqidah-aqidah yang telah bengkok.

Dari kisah ini, kita mengetahui betapa pada waktu itu masyarakat mengelu-elukan kehadiran Nabi Muhammad s.a.w. ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin’. (QS. 9:128). Hampir setiap kaum tahu bahwa ketika situasi sudah sangat rusak, nabi akhir zaman akan muncul. Namun, dari mana dia lahir, hal itu yang tidak pernah diketahui secara pasti. Yang diketahui pada saat itu adalah ciri-ciri tempat, posisi bintang, ciri-ciri bayi, dan lain sebagainya.

Dalam kitab-kitab lama, ciri-ciri tersebut ditulis secara jelas. Hingga masyarakat yang membaca kitab-kitab itu pun akan mengetahui pula. Tidak sekedar mengetahui, tapi mereka juga berkeinginan untuk dekat dengan nabi akhir zaman tersebut.

Salah satu yang diimpikan oleh berbagai kaum saat itu, adalah harapan agar nabi akhir zaman itu muncul dari keturunannya. Hal demikian tentu sangat manusiawi. Maka, untuk mewujudkan impian itu, banyak kaum yang melakukan migrasi dari kampung halamannya, untuk mencari tempat yang disebutkan ciri-cirinya oleh kitab-kitab lama.

Ada beberapa tempat yang saat itu menjadi pilihan para pencari nabi akhir zaman. Tempat-tempat itu antara lain adalah Mekkah, Madinah (Yathrib) serta Yaman. Salah satu dari tiga tempat itu diyakini menjadi tempat nabi akhir zaman dilahirkan. Banyak juga para agamawan yang menduga nabi akhir zaman masih akan muncul dari kawasan Jerusalem atau Damaskus.

***

Untuk kasus Mekkah, orang-orang atau kaum non Quraisy yang minoritas adalah kaum pendatang yang sengaja tinggal di Mekkah untuk menanti kedatangan nabi akhir zaman. Sedangkan kasus migrasi di Madinah, orang-orang Yahudi-lah yang banyak menempati kota tersebut waktu itu. Suku bangsa seperti Bani Nadhir, Quraizah, Qainuqa’ dan suku-suku kecil lainnya, yang sering muamalahnya menghiasi sejarah Islam dan târîkh Nabi s.a.w, adalah keluarga-keluarga Yahudi yang bermigrasi dari berbagai kawasan, baik dari Jerusalem, Yaman, maupun yang lainnya, ke daerah Madinah untuk menanti nabi akhir zaman. Migrasi-migrasi itu terjadi dengan harapan nabi akhir zaman muncul dari keturunan mereka, selain, tentunya, mengharapkan barokah tadi. Migrasi ke Madinah ini dilakukan sudah cukup lama, setidaknya mereka telah mendiami Madinah sekitar 100 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.

Banyak sekali suku-bangsa yang percaya akan datangnya nabi akhir zaman. Mulai dari Ethiopia (Al-Habsyi) hingga Damaskus (Dimasyqa), serta dari Yaman hingga negeri-negeri Rusia. Semuanya menanti kedatangannya.

***

Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah s.w.t telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi kunci” kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad s.a.w. hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.

Memang, kasus-kasus wafatnya para agamawan setelah melihat tanda-tanda adanya kenabian, seperti yang terjadi pada orang tua itu, bukanlah yang pertama kali. Dalam rekaman sejarah, banyak sekali informasi yang membahasnya, bahkan sejak zaman sayyid Abdullah—ayahanda Nabi Muhammad s.a.w.—belum menikah dengan sayyidah Aminah, dan juga pada masa-masa dalam kandungan sayyidah Aminah. Hingga pada suatu waktu di kemudian hari, tepatnya 40 tahun setelah kelahiran nabi, sejarah juga kehilangan seorang agamawan-monotheis yang informasi spiritualnya sangat berharga bagi keberlangsungan keyakinan terhadap adanya nabi akhir zaman.

Dalam hadits yang diriwayatkan sayyidah ‘Aisyah r.a. disebutkan bahwa setelah mendapatkan wahyu, sayyidah Khadîjah r.a.—bersama nabi—mendatangi pamannya, Waraqah bin Naufal, untuk meminta advis atas apa yang baru saja terjadi pada nabi. Waraqah bin Naufal adalah seorang agamawan ahli kitab suci.

Setelah Nabi Muhammad s.a.w. menceritakan semua yang terjadi kepada beliau—di gua hira itu—langsung saja Waraqah terperanjat dan menjawabnya,”Itu adalah Namûs yang diturunkan Allah s.w.t. kepada Musa a.s. Ya Tuhan, semoga saja aku masih hidup ketika orang-orang mengusir nabi ini…”.

Waraqah tahu, bahwa yang menemui Nabi Muhammad s.a.w adalah Namûs, alias malaikat Jibril a.s., yang pernah menemui Nabi Musa a.s. dulu. Pengakuan Waraqah ini mirip dengan peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian, saat Nabi Muhammad s.a.w. membacakan ayat al-Qur’an di hadapan jin, maka jin itu berkomentar, “Mereka berkata, ’Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (yaitu al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [QS. 46:30].

Dan Waraqah tahu, bahwa yang ada di depannya saat itu adalah seorang nabi, yang di kemudian hari akan diusir oleh kaumnya sendiri dari tanah kelahirannya. Tapi, harapan Waraqah untuk menjadi saksi perilaku orang-orang terhadap Nabi Muhammad s.a.w. tidak kesampaian. Beberapa hari setelah itu, beliau wafat. Untuk ke sekian kalinya, Allah s.w.t memanggil hambanya yang bisa menjadi “saksi spritiual” atas kenabian Muhammad s.a.w. Tapi, itulah, Allah s.w.t tentu memiliki kehendak-kehendak tersendiri yang tidak pernah kita ketahui.

***

Dengan wafatnya beberapa agamawan yang menjadi saksi kebenaran kelahiran sang nabi, terputus pula informasi-informasi ini. Situasi informasi tentang nabi akhir zaman kembali ke titik nol. Namun inti berita yang ada dalam kitab-kitab tentang akan diutusnya nabi akhir zaman saat itu masih ada. Karena realitas teologis memang membutuhkannya. Hanya berita ini yang telah diketahui oleh para agamawan di berbagai tempat, sebagaimana berita akan kelahirannya. Dan mereka hanya bisa memegang keyakinannya, tanpa ada kemampuan untuk mencarinya, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka menemukan waktu saat-saat dilahirkannya Nabi Muhammad s.a.w. Nampaknya, agamawan yang baru membaca kitab-kitab suci itu lebih percaya bahwa nabi akhir zaman sudah benar-benar lahir di dunia ini.

Memang banyak ditemukan beberapa anak laki-laki yang memiliki nama Ahmad atau Muhammad pada masa pra kenabian. Menamakan Ahmad atau Muhammad karena orang tuanya sangat berharap anaknya menjadi nabi. Tetapi, para agamawan tentu sudah memiliki wasilah atau cara tersendiri untuk menentukan “validitas stempel” yang ada pada seorang nabi, apa lagi nabi akhir zaman. Maka, mereka tinggal menanti detik-detik kedatangan risalah dan deklarasi kenabian sang nabi akhir zaman itu.

***

Secara umum, bisa dikatakan bahwa kebanyakan para agamawan saat itu sudah mengetahui bahwa nabi akhir zaman akan diturunkan dari keluarga tertentu, dan di tempat tertentu. Ada saja yang mengetahui, atau setidaknya meyakini, bahwa nabi akhir zaman itu muncul dari keluarga Bani Hasyim, di daerah Mekkah, dan lain sebagainya. Ini misalnya terjadi kepada seorang pedagang dari Mekkah yang berjulukan Atîq, saat berdagang ke Yaman. Sebagai pedagang yang juga intelektual, kemana pun pergi beliau tidak lupa untuk berkunjung ke kalangan agamawan.

Saat beliau menemui seorang agamawan di Yaman, dan beliau ditanya tentang asal daerah serta dari keluarga apa, maka setelah mendapatkan jawaban, sang agamawan itu menyatakan, “Nanti akan ada nabi akhir zaman dari daerah kamu dan dari keluarga kamu”. Beliau—Atîq—percaya atas informasi yang disampaikan agamawan Yaman itu. Begitu sang nabi muncul dan mendakwahkan kembali ajaran-ajaran Tauhîd [monotheisme] yang hilang, dia –Atîq– pun segera bersaksi atas kebenaran ajaran itu. Beliau menjadi laki-laki pertama yang membenarkan risalah yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Saat masuk Islam itu, beliau mengganti nama menjadi Abû Bakar, yang kelak menjadi sahabat utama sang nabi akhir zaman dan mendapatkan gelar Ash-Shiddîq, yang senantiasa membenarkan. Ini adalah jawaban atas pertanyaan, kenapa Abû Bakar r.a. selalu saja membenarkan kebenaran Muhammad.

***

Dalam al-Qur’an, Allah s.w.t. berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?". Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. 3:81]

Para nabi berjanji kepada Allah s.w.t. bahwa bilamana datang seorang Rasul bernama Muhammad mereka akan iman kepadanya dan menolongnya. Perjanjian nabi-nabi ini mengikat pula para ummatnya. Namun, manusia selalu melakukan penentangan terhadap keputusan-keputusan Allah s.w.t. Para manusia itu ingkar, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, “Dan setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka—maksudnya kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan sifat-sifatnya—, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.(QS. 2:89)

Itulah manusia yang sangat tidak beruntung dengan melakukan penolakan terhadap kenabian Muhammad s.a.w. Maka, sangat tepat jika Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits yang penulis nukil pada permulaan di atas. Bahwa orang yang menjadi saudara Nabi s.a.w. adalah orang yang tidak pernah melihat Nabi s.a.w. namun percaya akan kenabian dan selalu membenarkan sabda-sabda beliau. Orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi s.a.w. tapi selalu membenarkan beliau itulah yang merupakan orang-orang paling utama di antara orang-orang beriman. Ya Allah, tetapkanlah kami untuk selalu beriman kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.

Âmîn.

(Disarikan dari beberapa buku, terutama kitab Syarah Al-Barzanjî)

MAULID NABI DAN KEBANGKITAN UMMAT Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Oleh: Dewan Asatidz
Al-Qur'an telah merekam sebuah zaman yang sangat gelap. Kebodohan dan kesombongan menjadi kebanggaan. Anak-anak kecil laki-laki yang baru lahir dibunuh begitu saja. Fir'aun yang pada waktu itu paling berkuasa mengaku dirinya tuhan. Pada saat yang demikian menyedihkan itu Allah lahirkan seorang anak kecil, yang bernama Musa, di mana kelak ia terpilih sebagai Nabi yang mengajarkan kebenaran, membangkitkan kemanusiaan, dan menyelamatkan manusia dari kesesatan.

Al-Qur'an telah merekam sebuah zaman yang sangat gelap. Kebodohan dan kesombongan menjadi kebanggaan. Anak-anak kecil laki-laki yang baru lahir dibunuh begitu saja. Fir'aun yang pada waktu itu paling berkuasa mengaku dirinya tuhan. Pada saat yang demikian menyedihkan itu Allah lahirkan seorang anak kecil, yang bernama Musa, di mana kelak ia terpilih sebagai Nabi yang mengajarkan kebenaran, membangkitkan kemanusiaan, dan menyelamatkan manusia dari kesesatan. Jauh setelah zaman itu, pada pertengahan abad ke enam Masehi, muncul sebuah zaman yang sama. Syeikh Abul Hasan Nadwi melukiskannya sebagai puncak zaman hancurnya kemanusiaan. Akal yang Allah berikan kepada mereka, digusur dengan minuman-minuman keras yang sangat merajalela. Manusia pada waktu itu tidak lagi berjalan dengan akalnya, melainkan disetir oleh hawa nafsu kebinatangannya. Yang kuat memeras yang lemah. Wanita tidak lagi dianggap sebagai manusia, melainkan semata simbol seks dan pemuas hawa nafsu. Akidah yang dibawa para Nabi sebelumnya, lenyap ditelan kebodohan. Mereka tidak lagi menyembah Allah, Pencipta alam semesta, melainkan menyembah patung-patung yang mereka ciptakan sendiri. Buku-buku suci yang dibawa para Nabi, seperti Injil, mereka gerogoti kewahyuannya. (lihat Al Sirah Nabawiyah, oleh Abul Hasan Al Nadwi, Mansyuratul Maktabah Al Ashriyah, Bairut, 1981, hal. 19-67 ).

Jazirah Arab pada waktu itu benar-benar dalam puncak kegelapan dan kerendahan moral. Ustadz Sayyid Qutub menggambarkannya, bahwa kedzaliman pada saat itu menjadi suatu keharusan. Jika tidak berbuat dzalim, pasti didzalimi. Minuman yang yang memabukkan, bukan hanya kebiasaan, melainkan sebuah kebanggaan. Pernikahan yang berjalan di tengah masyarakat pada waktu ada empat macam :

(1). Nikah seperti biasa, yang laki-laki melamar perempuannya dan menikahinya. (2) Seorang suami yang menyuruh istrinya untuk berselingkuh dengan seorang yang ditentukan sampai hamil, dengan maksud untuk mendapatkan keturunan yang pandai, ini namanya nikah istibdha'. (3) Seorang perempuan melakukan hubungan dengan beberapa laki-laki, jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Setelah anak itu lahir, perempuan itu memanggil semua laki-laki yang menghubunginya, lalu ia menentukan bapak sang anak itu di antara mereka. (4) Seorang wanita melakukan hubungan dengan banyak laki-laki tak terbatas jumlahnya. Begitu wanita itu melahirkan, semua laki-laki yang pernah menghunginya berkumpul, lalu memilih siapa yang wajahnya mirip dengan anak itu sebagai bapaknya. ( lihat Ma'alim fit Tharieq, oleh Sayyed Qutub, Darusy Syuruq, Bairut 1980, hal.31-32 ).

Dari apa yang baru saja kita paparkan, terlihat dengan jelas bahwa kemanusiaan di Jazera Arab pada waktu itu sungguh sangat hancur. Sampai-sampai seorang yang bernama Abrahah tiba-tiba berniat untuk menghancurkan Ka'bah, tempat yang sangat Allah sucikan. Suatu tindakan kebodohan yang demikian jelas. Dan Abrahah memang serius untuk menghancurkan Ka'bah. Pada waktu itu ia dan pasukan gajahnya sudah berangkat dari Yaman menuju Makkah. Namun Allah Maha tahu akan niat jahat Abrahah. Sebelum mereka mencapai tujuannya Allah segera mengirimkan burung-burung Ababil, menyebarkan kepada mereka batu-batu api neraka yang menghanguskan. perhatikan QS.105:1-5 )

Tidak hanya itu, pada hari yang sama, dan dalam kondisi zaman yang demikian penuh dengan kebodohan ini, seorang bayi bernama Muhammad, Allah melahirkan dari rahim seorang Ibu bernama Aminah, tepatnya 12 Rabi'ul Awal, tahun Gajah. Muhammad, dialah yang kemudian Allah pilih sebagai seorang Rasul, pembawa risalahNya, kepadanya Allah turunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk jalan kehidupan. Sejak itu muncul sebuah zaman baru yang sangat mengagumkan bagi bangkitnya kemnusiaan. Manusia yang benar-benar manusia, tunduk kepada Allah Penciptanya dan pencipta segala mahluk. Keadilan benar-benar ditegakkan, dan kedzaliman dihancurkan. Wanita dihargai kemanusiannya, minuman keras dilarang, kerena merusak akal dan kejahiliahan diperangi dan dimusnahkan.

Kini kita sedang berada di sebuah zaman yang kembali penuh dengan proses penghancuran kemanusiaan, mirip dengan zaman jahiliyah sebelum Nabi SAW dilahirkan. Minuman keras disahkan, aurat wanita dipertontankan. Yang kuat memeras dan menghanguskan yang lemah. Ajaran Allah dicampakkan. Orang-orang yang mencintai Allah dicemoohkan dan dipersulit jalan hidupnya. Akankah dalam kondisi yang sangat menyedihkan ini - Allah melahirkan seorang bayi yang kelak bangkit menjadi pembaharu, meneruskan perjuangan Rasulullah, menegakkan kebenaran, keadilan dan kemanuisaan. Mari kita berdo'a dan mari mulai dari diri kita untuk mengamalkan ajaran Rasulullah dengan sesungguh-sungguhnya dan sejujur-jujurnya.

Peringatan Maulid Nabi s.a.w. dan Bid'ah Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Oleh: Dewan Asatidz
Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian agama Arab Saudi bahwa Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan dan dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. "Bagaimana dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia apakah ada hadist yang membenarkannya dan bagaimana sikap kita untuk menghadapi sesuatu yang dikatagorikan bid'ah?"

Tanya Jawab (422) Maulid Nabi s.a.w. dan Bid'ah
=======
Tanya :
=======
Assalaamu'alaikum Wr.Wb.
Ustadz yang saya hormati: Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian agama Arab Saudi bahwa Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan dan dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Dalam buku tersebut diperkuat pula dengan hadist-hadist shahih. Yang ingin saya tanyakan adalah: "Bagaimana dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia apakah ada hadist yang membenarkannya dan bagaimana sikap kita untuk menghadapi sesuatu yang dikatagorikan bid'ah?"
Wassalaamu'alaikum
=======
Jawab :
=======
Assalamua'alikum war. wab.
Ada tradisi umat Islam di banyak negara, seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya, untuk senantiasa melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti Peringatan Maulid Nabi SAW, peringatan Isra' Mi'raj, peringatan Muharram, dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya aktifitas-aktifitas itu? Secara khusus, Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah menyuruh hal-hal demikian. Karena tidak pernah menyuruh, maka secara spesial pula, hal ini tidak bisa dikatakan "masyru'" [disyariatkan], tetapi juga tidak bisa dikatakan berlawanan dengan teologi agama. Yang perlu kita tekankan dalam memaknai aktifitas-aktifitas itu adalah "mengingat kembali hari kelahiran beliau --atau peristiwa-peristiwa penting lainnya-- dalam rangka meresapi nilai-nilai dan hikmah yang terkandung pada kejadian itu". Misalnya, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Itu bisa kita jadikan sebagai bentuk "mengingat kembali diutusnya Muhammad SAW" sebagai Rasul. Jika dengan mengingat saja kita bisa mendapatkan semangat-semangat khusus dalam beragama, tentu ini akan mendapatkan pahala. Apalagi jika peringatan itu betul-betul dengan niat "sebagai bentuk rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW".
Dalam Shahih Bukhari diceritakan, sebuah kisah yang menyangkut tentang Tsuwaibah. Tsuwaibah adalah budak [perempuan] Abu Lahab [paman Nabi Muhammad [SAW]. Tsuwaibah memberikan kabar kepada Abu Lahab tentang kelahiran Muhammad [keponakannya], tepatnya hari Senin tanggal 12 Robiul Awwal tahun Gajah. Abu Lahab bersuka cita sekali dengan kelahiran beliau. Maka, dengan kegembiraan itu, Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah. Dalam riwayat disebutkan, bahwa setiap hari Senin, di akhirat nanti, siksa Abu Lahab akan dikurangi karena pada hari itu, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab turut bersuka cita. Kepastian akan hal ini tentu kita kembalikan kepada Allah SWT, yang paling berhak tentang urusan akhirat. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW secara seremonial sebagaimana yang kita lihat sekarang ini, dimulai oleh Imam Shalahuddin Al-Ayyubi, komandan Perang Salib yang berhasil merebut Jerusalem dari orang-orang Kristen. Akhirnya, setelah terbukti bahwa kegiatan ini mampu membawa umat Islam untuk selalu ingat kepada Nabi Muhammad SAW, menambah ketaqwaan dan keimanan, kegiatan ini pun berkembang ke seluruh wilayah-wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kita tidak perlu merisaukan aktifitas itu. Aktifitas apapun, jika akan menambah ketaqwaan kita, perlu kita lakukan.
Tentang pendapat Ulama dan Pemerintah Arab Saudi itu, memang benar, sebagaimana yang kami tulis di atas. Tetapi, jika kita ingin 100% seperti zaman Nabi Muhammad SAW, apapun yang ada di sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi. Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan. Nabi Muhammad SAW bersabda : 'Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan [juga mendapatkan] pahala orang yang turut melakukannya' (Muslim dll). Makna 'aktifitas yang baik' --secara sederhananya--adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya.
Masalah Bid'ah:
Ibnu Atsir dalam kitabnya "Annihayah fi Gharibil Hadist wal-Atsar" pada bab Bid'ah dan pada pembahasan hadist Umar tentang Qiyamullail (sholat malam) Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", bahwa bid'ah terbagi menjadi dua : bid'ah baik dan bid'ah sesat. Bid'ah yang bertentangan dengan perintah qur'an dan hadist disebut bid'ah sesat, sedangkan bid'ah yang sesuai dengan ketentuan umum ajaran agama dan mewujudkan tujuan dari syariah itu sendiri disebut bid'ah hasanah. Ibnu Atsir menukil sebuah hadist Rasulullah "Barang siapa merintis jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang menjalankannya dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menjalankannya". Rasulullah juga bersabda "Ikutilah kepada teladan yang diberikan oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan Umar". Dalam kesempatan lain Rasulullah juga menyatakan "Setiap yang baru dalam agama adala Bid'ah". Untuk mensinkronkan dua hadist tersebut adalah dengan pemahaman bahwa setiap tindakan yang jelas bertentangan dengan ajaran agama disebut "bid'ah".
Izzuddin bin Abdussalam bahkan membuat kategori bid'ah sbb : 1) wajib seperti meletakkan dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama.Seperto kodifikasi al-Qur'an misalnya. 2) Bid'ah yang sunnah seperti mendirikan madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan membaca al-Qur'an di dalam masjid. 3) Bid'ah yang haram seperti melagukan al-Qur'an hingga merubah arti aslinya, 4) Bid'ah Makruh seperti menghias masjid dengan gambar-gambar 5) Bid'ah yang halal, seperti bid'ah dalam tata cara pembagian daging Qurban dan lain sebagainya.
Syatibi dalam Muwafawat mengatakan bahwa bid'ah adalah tindakan yang diklaim mempunyai maslahah namun bertentangan dengan tujuan syariah. Amalan-amalan yang tidak ada nash dalam syariah, seperti sujud syukur menurut Imam Malik, berdoa bersama-sama setelah shalat fardlu, atau seperti puasa disertai dengan tanpa bicara seharian, atau meninggalkan makanan tertentu, maka ini harus dikaji dengan pertimbangan maslahat dan mafsadah menurut agama. Manakala ia mendatangkan maslahat dan terpuji secara agama, ia pun terpuji dan boleh dilaksanakan. Sebaliknya bila ia menimbulkan mafsadah, tidak boleh dilaksanakan.(2/585)
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana bid'ah yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan. Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah). Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama).
Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu'iyah adalah menklaim dirinya dan pendapatnya yang paling benar.
Demikian, semoga membantu
M. Luthfi Thomafi




MILAD ROSULULLAH MUHAMMAD,SAW

Nabi Pembawa Kasih Tuhan Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Oleh: K.H. Mustofa Bisri

Lelaki berwibawa itu membariskan anak-anak pamannya, Abbas, Abdullah, Ubaidillah, dan Kutsair. Ia berkata kepada bocah-bocah itu, ”Ayo, siapa yang lebih dulu mencapaiku, aku beri hadiah.” Bocah-bocah itu dengan gembira berlarian, berlomba mendapatkan laki-laki yang mereka cintai itu. Ada yang kemudian jatuh di dadanya, ada yang di punggungnya. Lelaki yang tidak lain adalah pemimpin agung Nabi Muhammad SAW itu pun memeluk dan menciumi mereka.

Ketika waktu salat tiba, Rasulullah SAW seperti biasa datang untuk mengimami jamaah. Namun, kali ini, beliau datang dan salat dengan memanggul cucunya, Umamah binti Abil ’Ash, di pundaknya. Pada saat rukuk, Umamah diletakkan dan saat bangkit dari rukuk cucunya itu diangkat lagi.

Kisah Nabi

Zahir sedang berada di pasar Madinah ketika tiba-tiba seseorang memeluknya kuat-kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut dan berusaha melepaskan diri, katanya, ”Lepaskan aku! Siapa ini?”

Orang yang memeluknya tidak melepaskannya, justru berteriak, ”Siapa mau membeli budak saya ini?” Begitu mendengar suaranya, Zahir sadar siapa orang yang mengejutkannya itu. Bahkan, ia merapatkan punggungnya ke dada orang yang memeluknya, sebelum kemudian mencium tangannya. Lalu, katanya riang, ”Lihatlah, ya, Rasulullah, ternyata saya tidak laku dijual.”

”Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi,” sahut lelaki yang memeluk dan ”menawarkan” dirinya seolah budak itu yang ternyata tidak lain adalah Rasulullah, Muhammad SAW.

Zahir Ibn Haram dari suku Asyja’ adalah satu di antara sekian banyak orang dusun yang sering datang berkunjung ke Madinah, sowan menghadap Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Di perjalanan, rombongan berhenti untuk beristirahat. Ketika mereka menyiapkan santapan, seseorang mengangkat tangan dan berkata, ”Aku yang menyembelih kambingnya.”

”Aku yang mengulitinya!” kata yang lain. ”Aku yang memasak!” sahut yang lain lagi. ”Kalau begitu, aku yang mencari kayu bakar!” kata pemimpin mereka, Nabi Muhammad SAW. Orang- orang pun serentak berkata, ”Tak usah, ya, Rasulullah, biar kami saja yang bekerja.”

”Aku tahu kalian bisa membereskan pekerjaan ini tanpa aku,” sergah Sang Nabi, ”tetapi aku tidak ingin berbeda dari—istimewa melebihi—kalian. Allah tidak suka melihat hambanya berbeda dari sahabat-sahabatnya.”

Pemimpin Agung

Dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, sengaja saya nukilkan penggalan-penggalan hadis. Hadis-hadis sahih semacam ini jarang sekali dinukil, baik dalam ceramah keagamaan maupun dalam tulisan. Mungkin orang menganggap hal- hal itu terlalu biasa dan kurang menarik. Padahal, pemeran utama berbagai penggalan kisah kehidupan itu adalah sang pemimpin agung yang nabi yang rasul, utusan Allah.

Pemeran utama berbagai cuplikan kisah itu adalah Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang oleh Michael H Hart, namanya ditempatkan dalam urutan pertama 100 manusia paling berpengaruh di dunia. Pemeran utama cuplikan-cuplikan kisah itu adalah utusan Allah, Muhammad SAW, yang agamanya diikuti oleh mayoritas bangsa ini. Pemimpin yang berhasil membangun masyarakat madani di Madinah. Pemimpin yang mencintai dan dicintai umatnya. Pemimpin yang ditaati karena dicintai dan bukan karena ditakuti.

Di dada dan punggung Pemimpin Agung itulah bocah-bocah, anak-anak pamannya, bergelayutan dengan riang. Di pundak Pemimpin Agung itulah Umamah binti Abil ’Ash, cucunya, digendong dibawa mengimami salat. Pemimpin Agung itulah yang bercanda dan menggoda salah seorang rakyatnya di pasar. Pemimpin Agung itulah yang tidak mau diistimewakan oleh kawan- kawan rombongannya dan meminta bagian pekerjaan juga seperti anggota rombongan yang lain.

Kasih sayang

Dari adegan-adegan sederhana itu, Anda pasti dapat membaca, antara lain, kasih sayang dan kerendah-hatian Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kasih sayang dan kerendah-hatian inilah yang menjadi faktor utama mengapa beliau amat dicintai dan disayangi umatnya. Kasih sayang sudah menjadi bawaan Kanjeng Nabi SAW.

Pernah Kanjeng Nabi SAW mencium cucunya, Hasan Ibn Ali, di hadapan tokoh suku Tamim, Aqra’ Ibn Habis. Aqra’ berkomentar, ”Aku punya sepuluh anak dan tak seorang pun pernah aku cium.” Kanjeng Nabi memandang Aqra” dan bersabda, ”Man laa yarhamu laa yurhamu.” ”Orang yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.”

Kasih sayang bukan saja bawaan Rasulullah SAW dan merupakan sikap hidup beliau, melainkan juga merupakan misi beliau; sesuai dengan yang difirmankan Tuhannya dalam Al Quran (Q. 21: 107). Seperti nabi-nabi sebelumnya, Nabi Muhammad SAW adalah pembawa kasih sayang Tuhan. Maka, mereka yang mengaku pemimpin penerus risalah Nabi, tetapi tidak memiliki kasih sayang, akan kesulitan bahkan juga menyulitkan orang lain.

Semoga selawat dan salam dilimpahkan kepada Kanjeng NabiMuhammad SAW.

A Mustofa Bisri Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah

http://www.kompas.com

Etika Merayakan Peringatan Maulid Nabi Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Oleh: Dewan Asatidz

Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin(l. 549 H. w.630 H.), menurut Imam Al-Suyuthi tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW ini dengan perayaan yang meriah luar biasa [1]. Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini.

Imam Al-Hafidz Ibnu Wajih menyusun kitab maulid yang berjudul “Al-Tanwir fi Maulidi al-Basyir al-Nadzir”. Konon kitab ini adalah kitab maulid pertama yang disusun oleh ulama.

Di negeri kita tercinta ini, meskipun tidak dapat disebut sebagai Negara Islam, banyak masyarakat yang merayakannya dan telah menjadi tradisi mereka. Pemerintah pun telah menjadikan peringatan ini salah satu agenda rutin dan acara kenegaraan tahunan yang dihadiri oleh pejabat tinggi negara serta para duta besar negara-negara sahabat berpenduduk Islam. Hari peringatan maulid Nabi tekah telah disamakan dengan hari-hari besar keagamaan lainnya.

Pendapat Ulama dan Silang pendapat mengenai perayaan Maulid Nabi

Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid'ah. Hingga saat ini pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat. Seperti yang terjadi di salah satu kota Pakistan tahun 2006 lalu, peringatan maulid berakhir dengan banjir darah karena dipasang bom oleh kalangan yang tidak menyukai maulid.


Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah sejarah pemikiran Islam tentang peringatan maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup ulama dominan yang dapat dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran.


Pendapat Ibnu Taymiyah:


Ibnu Taymiyah dalam kitab Iqtidla'-us-Syirat al-Mustqim (2/83-85) mengatakan: "Rasululullah s.a.w. telah melakukan kejadian-kejadian penting dalam sejarah beliau, seperti khutbah-khutbah dan perjanjian-perjanjian beliau pada hari Badar, Hunain, Khandaq, pembukaan Makkah, Hijrah, Masuk Madinah. Tidak seharusnya hari-hari itu dijadikan hari raya, karena yang melakukan seperti itu adalah umat Nasrani atau Yahudi yang menjadikan semua kejadian Isa hari raya. Hari raya merupakan bagian dari syariat, apa yang disyariatkan itulah yang diikuti, kalau tidak maka telah membuat sesuatu yang baru dalam agama. Maka apa yang dilakukan orang memperingati maulid, antara mengikuti tradisi Nasrani yang memperingati kelahiran Isa, atau karena cinta Rasulullah. Allah mungkin akan memberi pahala atas kecintaan dan ijtihad itu, tapi tidak atas bid'ah dengan menjadikan maulid nabi sebagai hari raya. Orang-orang salaf tidak melakukan itu padahal mereka lebih mencintai rasul".

Namun dalam bagian lain di kitab tersebut, Ibnu Taymiyah menambahkan:"Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SA. Seperti yang telah saya jelaskan, terkadang sesuatu itu baik bagi satu kalangan orang, padahal itu dianggap kurang baik oleh kalangan mu'min yang ketat. Suatu hari pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang tindakan salah seorang pejabat yang menyedekahkan uang 100 dinar untuk membuat mushaf Qur'an, beliau menjawab:"Biarkan saja, itu cara terbaik bagi dia untuk menyedekahkan emasnya". Padahal madzhab Imam Ahmad mengatakan bahwa menghiasi Qur'an hukumnya makruh. Tujuan Imam Ahmad adalah bahwa pekerjaan itu ada maslahah dan ada mafsadahnya pula, maka dimakruhkan, akan tetapi apabila tidak diperbolehkan, mereka itu akan membelanjakan uanngnya untuk kerusakan, seperti membeli buku porno dsb.

Pahamilah dengan cerdas hakekat agama, lihatlah kemaslahatan dalam setiap pekerjaan dan kerusakannya, sehingga kamu mengetahui tingkat kebaikan dan keburukan, sehingga pada saat terdesak kamu bisa memilih mana yang terpenting, inilah hakekat ilmu yang diajarkan Rasulullah. Membedakan jenis kebaikan, jenis keburukan dan jenis dalil itu lebih mudah. Sedangkan mengetahui tingkat kebaikan, tingkat keburukan dan tingkat dalil itu pekerjaan para ulama.

Selanjutnya Ibnu Taymiyah menjelaskan tingkat amal solih itu ada tiga.

Pertama Amal sholeh yang masyru' (diajarkan) dan didalamnya tidak ada kemaruhan sedikitpun. Inilah sunnah murni dan hakiki yang wajib dipelajari dan diajarkan dan inilah amalan orang solih terdahulu dari zaman muhajirin dan anshor dan pengikutnya.

Kedua: Amal solih dari satu sisi, atau sebagian besar sisinya berisi amal solih seperti tujuannya misalnya, atau mungkin amal itu mengandung pekerjaan baik. Amalan-amalan ini banyak sekali ditemukan pada orang-orang yang mengaku golongan agama dan ibadah dan dari orang-orang awam juga. Mereka itu lebih baik dari orang yang sama sekali tidak melakukan amal solih, lebih baik juga daripada orang yang tidak beramal sama sekali dan lebih baik dari orang yang amalannya dosa seperti kafir, dusta, hianat, dan bodoh. Orang yang beribadah dengan ibadah yang mengandung larangan seperti berpuasa lebih sehari tanpa buka (wisal), meninggalkan kenikmatan tertentu (mubah yang tidak dilarang), atau menghidupkan malam tertentu yang tidak perlu dikhususkan seperti malam pertama bulan Rajab, terkadang mereka itu lebih baik dari pada orang pengangguran yang malas beribadah dan melakukan ketaatan agama. Bahkan banyak orang yang membenci amalan-amalan seperti ini, ternyata mereka itu pelit dalam melakukan ibadah, dalam mengamalkan ilmu, beramal solih, tidak menyukai amalan dan tidak simpatik kepadanya, tetapi tidak juga mengantarkannya kepada kebaikan, misalnya menggunakan kemampuannya untuk kebaikan. Mereka ini tingkah lakunya meninggalkan hal yang masyru' (dianjurkan agama) dan yang tidak masyru' (yang tidak dianjurkan agama), akan tetapi perkatannya menentang yang tidak masyru' (yang tidak diajarkan agama).

Ketiga: Amalan yang sama sekali tidak mengandung kebaikan, karena meninggalkan kebaikan atau mengandung hal yang dilarang agama. (ini hukumnya jelas).


Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: "Bid'ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah".

Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi):"Termasuk yang hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah s.a.w. dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah s.a.w. kepada seluruh alam semesta".

Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Fatawa Kubro menjelaskan:"Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan buid'ah yang baik (bid'ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah s.a.w. datang ke Madina, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada haru Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab:"Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur'an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah s.a.w. di muka bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur'an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rauslullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu, kalau itu mubah maka hukumnya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya".

Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab Syarh Mawahib Ladunniyah mengatakan:"Melakukan perayaan, memberi makan orang disunnahkan tiap waktu, apalagi kalau itu disertai dengan rasa gembira dan senang dengan kahadiran Rasulullah s.a.w. pada hari dan bulan itu. Tidaklah sesuatu yang bid'ah selalu makruh dan dilarang, banyak sekali bid'ah yang disunnahkan dan bahkan diwajibkan".

Imam Suyuti berkata: "Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur'an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid'ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad SAW yang mulia".[2]

Syeh Azhar Husnain Muhammad Makhluf mengatakan:"Menghidupkan malam maulid nabi dan malam-malam bulan Rabiul Awal ini adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah, memperbanyak syukur dengan nikmat-nikmat yang diturunkan termasuk nikmat dilahirkannya Rasulullah s.a.w. di alam dunia ini. Memperingatinya sebaiknya dengan cara yang santun dan khusu' dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama seperti amalan-amalan bid'ah dan kemungkaran. Dan termasuk cara bersyukur adalah menyantuni orang-orang susah, menjalin silaturrahmi. Cara itu meskipun tidak dilakukan pada zaman Rasulullah s.a.w. dan tidak juga pada masa salaf terdahulu namun baik untuk dilakukan termasuk sunnah hasanah".

Seorang ulama Turkmenistan Mubasshir al-Thirazi mengatakan:"Mengadakan perayaan maulid nabi Muhammad s.a.w. saat ini bisa jadi merupakan kewajiban yang harus kita laksanakan, untuk mengkonter perayaan-perayaan kotor yang sekarang ini sangat banyak kita temukan di masyarakat"

Dalil-dalil yang memperbolehkan melakukan perayaan Maulid Nabi s.a.w.


1. Anjuran bergembira atas rahmat dan karunia Allah kepada kita. Allah SWT berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. QS.Yunus:58.

2. Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah Hadits dinyatakan:

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم


"Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku". (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).

3. Diriwayatkan dari Imam Bukhori bahwa Abu Lahab setiap hari senin diringankan siksanya dengan sebab memerdekakan budak Tsuwaybah sebagai ungkapan kegembiraannya atas kelahiran Rasulullah SAW. Jika Abu Lahab yang non-muslim dan al-Qur'an jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW.


Kesimpulan Hukum Maulid

Melihat dari pendapat-pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu seputar peringatan maulid adalah sebagai berikut:


1. Malarang maulid karena itu termasuk bid'ah dan tidak pernah dilakukan pada zaman ulama solih pertama Islam.

2. Memperbolehkan perayaan maulid Nabi, dengan syarat diisi dengan amalan-amalan yang baik, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Ini merupakan ekspresi syukur terhadap karunia Allah yang paling besar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad dan ekspresi kecintaan kepada beliau.

3. Menganjurkan maulid, karena itu merupakan tradisi baik yang telah dilakukan sebagian ulama terdahulu dan untuk mengkonter perayaan-perayaan lain yang tidak Islami.


Jadi masalah maulid ini seperti beberapa masalah agama lainnya, merupakan masalah khilafiyah, yang diperdebatkan hukumnya oleh para ulama sejak dulu. Sebaiknya umat Islam melihatnya dengan sikap toleransi dan saling menghargi mengenai perbedaan pendapat ini. Tidak selayaknya mengklaim paling benar dan tidak selayaknya menuduh salah lainnya.


Bahkan kalau dicermati, sebenarnya pendapat yang melarang dan yang memperbolehkan perayaan maulid tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama membela kecintaan mereka kepada Rasulullah s.a.w. Maka sangat disayangkan kalau umat Islam yang sama-sama dengan dalih mencintai Rasulullah s.a.w. tetapi saling hujat dan bahkan saling menyakiti.


Etika merayakan Maulid Nabi

Untuk menjaga agar perayaan maulid Nabi tidak melenceng dari aturan agama yang benar, sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:


1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.

Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". QS. Al-Ahzab:56.


2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah.

Syekh Husnayn Makhluf berkata: "Perayaan maulid harus dilakukan dengan berdzikir kepada Allah SWT, mensyukuri kenikmatan Allah SWT atas kelahiran Rasulullah SAW, dan dilakukan dengan cara yang sopan, khusyu' serta jauh dari hal-hal yang diharamkan dan bid'ah yang munkar".[3]

3. Membaca sejarah Rasulullah s.a.w. dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau.

3. Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.

4. Meningkatkan silaturrahmi.

5. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah s.a.w. di tengah-tengah kita.

6. Mengadakan pengajian atau majlis ta'lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuri tauladani Rasulullah s.a.w.

Jika timbul pertanyaan, perayaan maulid yang datangnya pada bulan Robi'ul Awwal, juga bertepatan dengan bulan wafat Rasulullah SAW, mengapa tidak ada luapan kesedihan atas wafatnya beliau? Imam Suyuthi menjelaskan: "Kelahiran Nabi SAW adalah kenikmatan terbesar untuk kita, sementara wafatnya beliau adalah musibah terbesar atas kita. Sedangkan syariat memerintahkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat dan bersabar serta diam dan merahasiakan atas cobaan yang menimpa. Terbukti agama memerintahkan untuk menyembelih kambing sebagai 'aqiqoh pada saat kelahiran anak, dan tidak memerintahkan menyembelih hewan pada saat kematian, maka kaidah syariat menunjukkan bahwa yang baik pada bulan ini adalah menampakkan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW bukan menampakkan kesusahan atas musibah yang menimpa". [4]


Oleh karena hakekat dari perayaan maulid adalah luapan rasa syukur serta penghormatan kepada Rasulullah SAW, sudah semestinya tidak dinodai dengan kemunkaran-kemunkaran dalam merayakannya. Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, tampilnya perempuan di atas pentas dihadapan kaum laki-laki, alat-alat musik yang diharamkan dan lain-lain.
Begitu juga peringatan maulid tidak seharusnya digunakan untuk saling provokasi antar kelompok Islam yang berujung pada kekerasan antar kelompok. Sebab jika demikian yang terjadi, maka bukanlah penghormatan yang didapat akan tetapi justru penghinaan kepada Rasulullah SAW.

Ustadz Muchib Aman Aly

Ustadz Muhammad Niam



[1]Imam Ghazali Said MA, Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya, meragukan kebenaran data imam Suyuthi ini. Menurutnya, tradisi peringatan maulid sebenarnya telah dilakukan oleh orang-orang Syi'ah sebelum raja Al-Mudhaffar. Menurut penulis, ada kesalahan pemahaman dari penjelasaan imam Suyuthi ini. Imam Ghazali Said MA tidak memahami kontek penjelasan imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi (kumpulan fatwanya). Imam Suyuthi hanya memberi penjelasan bahwa raja-raja Islam yang pertama kali mengadakan peringatan maulid secara besar-besaran adalah raja Al-Mudhaffar. Beliau tidak menyinggung rakyat biasa yang bukan raja, tidak pula menyinggung raja yang memperingati secara sederhana yang tidak sebesar perayaan peringatan maulid yang dilakukan raja Al-Mudhaffar. Bisa saja sebelumnya telah ada beberapa orang atau bahkan ulama yang memperingatinya, namun tidak menjadi acara resmi Negara. Atau bahkan raja-raja sebelumnya telah ada yang memperingatinya, namun tidak semeriah Al-mudhaffar, sehingga tidak sampai menggugah para sejarawan untuk mencatatnya sebagai peristiwa yang luar biasa.

[2] Al-Hawi li al-Fatawa juz l hal. 251-252.

[3] Fatawa Syar'iyyah juz l hal.131.

[4] Mawsu'ah Yusufiyyah juz l hal. 149.